Budaya Sungkeman oleh Para Anggota FORSIMMATH sebagai Bentuk Penghormatan dan Ketaatan

afterpro
0

Budaya sungkeman adalah tradisi yang sarat makna dan nilai-nilai luhur, terutama di kalangan santri dan mahasiswa Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin. Di lingkungan Forum Silaturahmi Mahasiswa dan Santri Tanbihul Ghofilin (FORSIMMATH), budaya ini menjadi simbol penghormatan dan ketaatan kepada para guru dan sesepuh. Sungkeman bukan hanya sekadar formalitas, tetapi juga manifestasi dari rasa hormat dan terima kasih yang tulus. Dua tokoh penting yang sering menjadi bagian dari tradisi ini adalah para masyayikh.

Makna dan Filosofi Sungkeman

Sungkeman berasal dari kata "sungkem," yang berarti memberikan penghormatan dengan cara duduk bersimpuh dan mencium tangan atau lutut orang yang dihormati. Dalam FORSIMMATH, sungkeman biasanya dilakukan oleh para anggota kepada para guru, khususnya para masyayikh, serta orang tua pada saat momen-momen penting seperti Idul Fitri, Idul Adha, atau acara besar di pondok pesantren.

Gus Khayat, salah satu tokoh di Tanbihul Ghofilin, sering mengingatkan bahwa sungkeman bukan hanya ritual, tetapi juga simbol ketaatan dan penghormatan. "Melalui sungkeman, kita menunjukkan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada mereka yang telah membimbing dan mendidik kita," ujarnya.

Implementasi Sungkeman dalam Kehidupan Sehari-hari

Para anggota FORSIMMATH diajarkan untuk mengamalkan budaya sungkeman dalam kehidupan sehari-hari. Sungkeman tidak hanya dilakukan pada saat acara formal, tetapi juga bisa menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua dan guru, termasuk kepada para masyayikh.

"Sungkeman adalah cermin dari sikap tawadhu’ (rendah hati) dan ikhlas," kata Gus Ulin. "Dengan sungkeman, kita belajar untuk merendahkan hati di hadapan orang yang lebih tua dan berilmu."

Pengaruh Positif Budaya Sungkeman

Budaya sungkeman memiliki banyak pengaruh positif bagi anggota FORSIMMATH. Selain mengajarkan sikap hormat, sungkeman juga mempererat hubungan emosional antara santri dengan para guru dan orang tua. Hal ini menciptakan lingkungan yang harmonis dan penuh kasih sayang di pondok pesantren.

“Ketika kita sungkem kepada para masyayikh, kita merasakan kasih sayang dan perhatian mereka secara langsung. Ini bukan hanya tentang menghormati, tetapi juga tentang memperkuat ikatan batin,” ungkap salah satu anggota FORSIMMATH.

Melestarikan Budaya Sungkeman

Dalam era modern ini, budaya tradisional seperti sungkeman sering kali terpinggirkan. Namun, FORSIMMATH berkomitmen untuk melestarikan dan mengamalkan budaya ini. Melalui berbagai kegiatan dan acara, mereka terus mengingatkan pentingnya sungkeman sebagai salah satu identitas budaya yang harus dijaga.

Gus Khayat menegaskan, "Melestarikan budaya sungkeman adalah salah satu cara kita untuk menjaga nilai-nilai luhur yang telah diajarkan oleh para pendahulu. Ini adalah warisan yang harus kita jaga dan teruskan kepada generasi berikutnya."

Penutup

Budaya sungkeman di lingkungan FORSIMMATH adalah wujud nyata dari penghormatan, ketaatan, dan kasih sayang kepada para guru dan orang tua, termasuk kepada para masyayikh. Melalui praktik ini, para anggota belajar untuk menghargai dan merendahkan hati, serta mempererat hubungan dengan sesepuh dan keluarga. Dengan terus mengamalkan dan melestarikan budaya sungkeman, FORSIMMATH berkomitmen untuk menjaga nilai-nilai luhur dan identitas budaya yang kaya akan makna.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)